Dampak ‘The Fed’ pada Rupiah: Mampukah Indonesia Bertahan dari Guncangan Global?
Keputusan Federal Reserve (The Fed), bank sentral Amerika Serikat, mengenai suku bunga acuan selalu menjadi perhatian utama pasar keuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kenaikan suku bunga The Fed secara agresif, seperti yang terjadi pada Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada Rabu, 20 November 2024, di mana suku bunga dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 5,5%, seketika menimbulkan efek domino. Dampak yang paling terasa adalah melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Kondisi ini menempatkan perekonomian Indonesia dalam posisi rentan menghadapi Guncangan Global yang dipicu oleh kebijakan moneter negara adidaya tersebut.
Melemahnya Rupiah terjadi karena kenaikan suku bunga The Fed membuat aset keuangan berbasis Dolar AS, seperti obligasi pemerintah AS, menjadi jauh lebih menarik dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Fenomena ini, yang dikenal sebagai capital outflow, menyebabkan investor asing berbondong-bondong menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada Jumat, 22 November 2024, nilai tukar Rupiah terpantau menyentuh level Rp 15.950 per Dolar AS, sebuah level terendah sejak pertengahan tahun sebelumnya. Bank Indonesia (BI) merespons cepat dengan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 50 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diselenggarakan mendadak pada Senin, 25 November 2024, dengan tujuan utama menahan keluarnya modal dan menjaga stabilitas Rupiah.
Meskipun BI telah bergerak, Indonesia tidak sepenuhnya imun terhadap Guncangan Global yang berkelanjutan. Kenaikan nilai tukar Dolar memiliki konsekuensi langsung pada neraca perdagangan dan utang luar negeri. Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per akhir Oktober 2024 menunjukkan bahwa total utang luar negeri Indonesia, terutama utang swasta, sebagian besar masih didominasi mata uang Dolar AS. Pelemahan Rupiah otomatis meningkatkan beban pembayaran utang dan bunga, yang berpotensi menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, sektor industri yang bergantung pada bahan baku impor, seperti industri tekstil dan elektronik, akan menghadapi kenaikan biaya produksi yang signifikan, yang pada akhirnya dapat memicu lonjakan inflasi.
Lalu, mampukah Indonesia bertahan? Para ekonom optimis bahwa fondasi ekonomi makro Indonesia saat ini lebih kuat dibandingkan krisis-krisis sebelumnya. Guru Besar Ekonomi Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Siti Aminah, dalam wawancara di Economic Outlook Forum pada 26 November 2024, menekankan dua poin keunggulan Indonesia. Pertama, besarnya cadangan devisa yang dilaporkan BI mencapai 140 miliar Dolar AS per November 2024, yang dianggap cukup untuk menahan tekanan jangka pendek. Kedua, surplus neraca perdagangan yang konsisten selama 48 bulan terakhir, didorong oleh kuatnya ekspor komoditas, menjadi bantalan penting dalam menghadapi Guncangan Global ini.
Kesimpulannya, dampak kebijakan The Fed terhadap Rupiah memang nyata dan memberikan tekanan. Namun, langkah-langkah pre-emptive BI, dikombinasikan dengan fundamental ekonomi yang didukung oleh kuatnya sektor ekspor dan neraca pembayaran, memberikan resilience atau daya tahan. Untuk jangka panjang, kunci keberhasilan Indonesia dalam memitigasi Guncangan Global adalah dengan terus mendorong hilirisasi industri agar tidak terlalu bergantung pada impor dan meningkatkan investasi langsung asing yang lebih stabil dibandingkan modal portofolio jangka pendek.
